Minggu, 26 Mei 2013

Klasifikasi Jangkrik


KLASIFIKASI JANGKRIK
Jangkrik merupakan serangga lompat yang termasuk dalam family Gryllidae. Ada sekitar seribu spesies jangkrik yang hidup terutama di daerah tropis. Banyak juga spesies yang hidup di daerah yang beriklim sedang yaitu, dengan suhu 26-33derajat C dan kelembaban 75-80%.
Usaha budidaya jangkrik di Negara kita sangat didukung oleh iklim, cuaca, ketersediaan lahan ataupun jenis jangkrik yang ada di sekitar kita. Usaha budidaya ini dilakukan untuk menghindari kelangkaan dan kepunahan akibat perburuan yang intensif dan habitat jangkrik yang semakin terdsak oleh modernisasi atau perluasan daerah perkotaan serta dampak penggunaan pestisida. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan jangkrik sebagai pakan hewan piaraan, maka sudah saatnya serangga ini dibudidayakan secara lebih intensif dan kontinyu, sehingga dapat memenuhi permintaan pasar.





Gambar 1. Jangkrik (Gryllus sp.)
Jangkrik merupakan jenis insekta yang hidup di semak-semak rerumputan pekarangan. Menurut Borror (1992) jangkrik dikelompokkan dalam :
Kingdom         : Animalia
Phylum            : Arthropoda
Klas                 : Insecta
Ordo                : Orthoptera
Sub Ordo         : Ensifera
Famili              : Gryllidae
Sub Famili       : Gryllinae
Genus              : Gryllids
Spesies : Gryllus mitratus (Jangkrik celiring)
                         Gryllus testacius (Jangkrik cendawang)
                         Gryllus bimaculatus de geex (Jangkrik kalung)
Sumber            : Jannah. 2000
Menurut Paimin et al. (1999), jangkrik-jangkrik yang hidup dan berkembang biak di Indonesia sebanyak sekitar 123 jenis, dan belum diketahui dengan pasti asal usul bangsanya, karena belum terklarifikasi dengan baik da nada yang hanya nama daerahnya. Jangkrik jawa Gryllus bimaculatus atau kalung (karena pangkal sayap luarnya bergaris kuning menyerupai kalung) memiliki panjang tubuh (dari kepala hingga ujung perut) kurang lebih 2-3 cm. warna tubuh bervariasi, tetapi pada umumnya coklat kehitaman dan hitam. Ras yang mempunyai sayap dan tubuhnya berwarna kuning kemerah-merahan disebut jerabang dan yang hitam legam disebut jeliteng, yang ukurannya bisa sampai 5 cm. jenis Gryllus bimaculatus ini umumnya dimanfaatkan untuk pakan burung, ikan dan aduan karena agresivitas dan kerikannya yang nyaring (Suseno, 1999).
Penyebaran Dan habitat Jangkrik
Jangkrik dapat ditemui hamper di seluruh Indonesia, tetapi lebih banyak ditemukan di daerah yang kering yang bersuhu 20-30derajat C dan kelembaban 65-80% (Sukarno. 1999), tanahnya gembur atau berpasir dan tersedia banyak tumbuhan semak belukar. Jangkrik hidup bergerombol dan bersembunyi dalam lipatan-lipatan daun kering atau bongkahan tanah.
Jangkrik yang termasuk family Gryllidae ada sekitar 1000 jenis jangkrik. Kelompok ini terutama hidup di daerah tropis. Jenis jangkrik yang paling umum dikenal masyarakat adalah jangkrik kalung atau Gryllus bimaculatus. Di alam bebas bentuk dewasa jangkrik kalung hanya bisa ditemukan pada musim-musim tertentu kira-kira bertepatan dengan musim bunga Eulolia amaura (rumput lamuran), karena mempunyai hubungan yang erat (jangkrik jantan yang digelitik dengan bunga tersebut akan marah, lalu diadu dengan jantan lain).
Jangkrik lokan jenis bimaculatus ini ditemukan secara soliter di kebun tembakau, kacang, mentimun, di tanah kemerahan yang berpasir. Memasuki musim kemarau jangkrik hijrah mendekati sumber-sumber perairan, seperti di rumput kaso atau ilalang di pinggir sungai (Karjono. 1999). Pada siang hari, jangkrik kalung bersembunyi di bawah batu-batuan, reruntuhan pohon atau dalam tanah. Pada malam hari jangkrik berkeliaran mencari makanan dan pasangan.
Makanan Jangkrik
Jangkrik makan sejumlah besar aneka ragam bahan anabti dan hewani. Jenis pakan yang disukai oleh jangkrik adalah daun-daun muda yang banyak mengandung air sebagai pengganti minum seperti sawi, kubis, bayam, daun papaya, dan lain-lain. Untuk jangkrik dewasa biasanya diberikan ketimun yang juga sebagai pengganti air minum. Kebutuhan protein diperoleh dari penambahan pakan kering yang sudah dihaluskan (Budi. 1999).
Tipe dan jumlah pakan yang dimakan serangga ini dapat mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan, reproduksi, kelakuan, dan seringkali berbagai sifat-sifat morfologik lainnya.
Perkembangbiakan Dan Reproduksi Jangkrik
Usaha jangkrik untuk mempertahankan keturunannya dilakukan melalui siklus reproduksi. Ini dimulai dengan proses kopulasi antara jangkrik dewasa jantan dan betina, yang dicapai pada usia sekitar 70-80 hari. Usia jangkrik betina siap kawin ditandai dengan keluarnya sayap terbang dan ovipositor secara lengkap, gerakannya gesit atau lincah dan pada jantan, diiringi dengan suara ngekrik yang keras (Sukarno. 1999).
Jangkrik adalah serangga yang memiliki system reproduksi dioceus yaitu kelamin jantan dan betina terdapat pada individu yang berlainan. Alat kelamin serangga biasanya terletak pada ruas abdomen delapan dan sembilan. Ruas-ruas ini memiliki sejumlah kekhususan yang berkaitan dengan kopulasi dan peletakan telur.
Alat reproduksi serangga betina terdiri atas sepasang ovarium dengan bagian-bagiannya yang terdiri atas indung telur (ovariolla), saluran telur (oviduct), oogonia, sel folikel, sel germanium, oosit dan reseptakulum seminalis (spermateka), sedangkan alat kelamin jantan terdiri atas sepasang testis, vas differentia, seminal vesikal dan ductus ejakulatori. Alat genital betina disebut ovipositor yang merupakan alat peletak telur berbentuk seperti jarum sedangkan alat genital pada jantan disebut clasper. Clasper tersembunyi dalam abdomen dan dapat dikeluarkan bila hendak digunakan Clesper balik ke ruas-ruas abdomen bila tidak dipakai (Borror et al., 1992).


Gambar 2. Reproduksi Jangkrik
Saat perkawinan akan berlangsung, jangkrik jantan akan merayap dari belakang ke bawah jangkrik betina dan meletakkan kantong kecil berwarna putih berisi sperma, ketika mereka sudah tepat untuk berkopulasi, sperma tersebut akan masuk dan disimpan di bawah andomen jangkrik betina untuk bertemu dengan sel telur yang akan membuahi telurnya (Hasegawa dan Kubo. 1996). Setelah terjadi pembuahan, jangkrik betina akan bunting dan bertelur secara bertahap. Jumlah tersebut mungkin lebih banyak lagi tergantung speciesnya (Sridadi dan Rahmanto. 1999).
Daftar Pustaka

Borror, D.J., C.a. Triplehorn dan N.F. Johnson. 1992. Pengenalan Pelajaran serangga. Edisi keenam. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Budi, H.Y. 1999. Rahasia Beternak Jangkrik. Semarang.
Jannah, Raudatul. 2000. Optimalisasi Manajemen Pemeliharaan Jangkrik Lokal (Gryllus bimaculatus de greex) Selama Masa reproduksi. Jurusan Ilmu Produksi ternak Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Karjono. 1999. Jangkrik Pilihan Untuk Tangkaran. Trubus. Bandung.
Paimin, F.B., L.E. Pudjiastuti dan Erniwati. 1999. Sukses Beternak Jangkerik. Cetakan 1. Penebar Swadaya. Jakarta.
Sridadi dan Rachmanto. 1999. Teknik Beternak jangkrik. Penerbit kanisius. Jakarta.
Sukarno, H. 1999. Budidaya jangkrik. Penerbit kanisius. Jakarta.
Suseno. 1999. Beternak jangkrik Untuk Mancing. Trubus. Bandung.

Jumat, 24 Mei 2013

jangkrik


Bagaimana hubungan tingkat kicau jangkrik dengan suhu lingkungan??
Jawab : Hubungan antara suhu dan tingkat kicau dikenal sebagai Hukum Dolbear. Dengan menggunakan hukum ini adalah mungkin untuk menghitung suhu dalam Fahrenheit dengan menambahkan 40 hingga jumlah celetuk diproduksi dalam 14 detik oleh pohon bersalju kriket umum di  Amerika Serikat. jangkrik, seperti semua organisme lain memiliki banyak reaksi kimia yang terjadi di dalam tubuh mereka.Ketika suhu naik, menjadi lebih mudah untuk mencapai batas tertentu atau energi aktivasi, dan reaksi kimia seperti yang terjadi selama kontraksi otot yang digunakan untuk menghasilkan kicau, terjadi lebih cepat. Saat suhu turun, laju reaksi kimia dalam jangkrik tubuh melambat, menyebabkan karakteristik, seperti kicau, untuk juga memperlambat. Jangkrik memiliki membran timpani terletak persis di bawah bagian tengah dari masing-masing sendi kaki depan (atau lutut).

Jumat, 19 April 2013

Ekologi Hewan


SOAL
1.        Konsep waktu-suhu yang berlaku pada hewan  poikilotermik sangat berguna aplikasinya dalam pengendalian hama pertanian, khususnya dari golongan serangga. Jelaskan arti konsep waktu secara singkat, dan berikan contoh ulasannya terkait dengan kasus ulat bulu yang menyerbu tanaman mangga di Probolinggo Tahun 2010.

2.        Jelaskan pemanfaatan konsep kelimpahan, intensitas dan prevalensi, disperse, fekunditas, dan kelulushidupan dalam kaitannya dengan penetapan hewan langka!

3.        Jelaskan aplikasi konsep interaksi populasi, khususnya parasitisme dan parasitoidisme, dalam pengendalian biologis. Berikan contohnya!

4.        Nilai sikap dan karakter apa yang harus ditumbuhkan pada siswa ketika belajar konsep-konsep dalam ekologi hewan? Berikan contoh riilnya!

5.        Uraikan satu contoh pemanfaatan indikator hewan untuk monitoring kondisi lingkungan secara mendetail, mulai dari jenis, prinsip dan praktik pemanfaatannya!

6.        Apakah manfaat pengetahuan tentang relung bagi aktivitas konservasi? Berikan salah satu contoh hewan langka, lakukan kajian tentang relungnya. (dalam satu kelas, hewan yang dikaji tidak boleh sama)!

JAWABAN
1.         Konsep waktu berkaitan dengan konsep suhu. Dapat dikatakan bahwa lama waktu yang diperlukan untuk perkembangbiakan hewan-hewan ektoterm tergantung pada suhu lingkungan. Karena pada hewan poikiloterm waktu (berlangsungnya proses perkembangan) merupakan fungsi dari suhu lingkungan.
Kasus ulat bulu yang menyerbu tanaman mangga di Probolinggo Tahun 2010, merupakan fenomena alam dan terjadi konsep waktu suhu. Pada saat itu, ulat bulu sedang mengalami musim kawin dengan suhu tinggi dan waktu yang diperlukan untuk perkembangbiakan semakin cepat. Sehingga hama jenis ulat bulu ini muncul dengan jumlah yang besar. Dalam bidang pertanian dan perkebunan harus mengetahui jumlah hari dan derajat perkembangan suatu serangga hama, sehingga dapat ditentukan waktu untuk memberantas hama ketika dalam bentuk larva atau pupa.

Menurut literatur :
Suhu tubuh menentukan kerja enzim enzim yang membantu metabolism di dalam tubuh.  Karena itu dari sudut pandang ekologi, kepentingan suhu lingkungan bagi hewan-hewan ektoterm tidak hanya berkaitan dengan aktivitasnya saja tetapi juga mengenai pengaruhnya terhadap laju perkembangannya.   Dalam suatu kisaran suhu tertentu, antara laju perkembangan dengan suhu lingkungan terdapat hubungan linier. Konsekuensinya ialah bahwa untuk hewan-hewan ektoterm lama  waktu perkembangan akan berbeda-beda. Dengan perkataan lain,  pernyataan berapa lamanya waktu perkembangan selalu perlu disertai dengan pernyataan pada suhu berapa berlangsungnya proses perkembangan itu. Karena pada  hewan ektoterm (Poikiloterm), waktu (berlangsungnya proses perkembangan) merupakan fungsi dari suhu lingkungan, maka kombinasi waktu-suhu yang seringkali dinamakan waktu fisiologis itu mempunyai arti penting.
Konsep waktu-suhu penting untuk memahami hubungan antara waktu dengan keterjadian-keterjadian serta  dinamika populasi hewan ektoterm (poikiloterm).   Sering timbul jenis serangga dalam jumlah besar yang terjadinya hampir  tiap tahun pada waktu yang berbeda beda, merupakan suatu fenomena alam.   Kejadian tersebut bila ditelaah lebih lanjut akan terlihat bahwa terjadinya peledakan populasi itu berdasarkan pada jumlah hari derajat yang sama di atas suhu ambang perkembangan jenis serangga tersebut.
Dengan menggunakan konsep-konsep waktu-suhu yang diwujudkan dalam bentuk jumlah hari-derajat, maka fenomena alam akibat proses perkembangan seperti peledakan populasi , dapat diramalkan kapan akan terjadinya.  Dalam bidang pertanian dan perkebunan, peramalan terjadinya peledakan suatu populasi, mempunayi nilai guna yang sangat penting. Sebab dengan diketahuinya jumlah hari-derajat perkembangan suatu jenis serangga hama, maka akan dapat ditentukan lebih tepat, kapan waktu dan teknik pemberantasan hama tersebut, karena memberantas telur atau pupa berbeda dengan memberantas hewan dewasanya (Anonymous.2012).

2.         Kelimpahan populasi suatu spesies memiliki dua aspek yang berbeda, yaitu aspek intensitas dan aspek prevalensi. Intensitas menunjukkan aspek tinggi rendahnya kerapatan populasi dalam area yang dihuni spesies. Prevalensi menunjukkan jumlah dan ukuran area-area yang ditempati spesies dalam konteks daerah yang lebih luas (masalah sebaran). Kelangkaan suatu spesies dapat diakibatkan oleh satu atau beberapa penyebab antara lain, area yang dihuni spesies menjadi sempit atau jarang. Suatu habitat yang kondisi lingkungannya khas biasanya dihuni oleh spesies yang telah teradaptasi secara khusus untuk lingkungan tersebut. Berubahnya kondisi lingkungan dapat mengakibatkan kepunahan lokal dari spesies tersebut. Tempat-tempat yang dapat dihuni spesies hanya cocok huni dalam waktu yang singkat, atau tempat itu letaknya di luar jangkauan daya pemencaran (dispesal) spesies hewan.
Menurut literatur :
Dalam habitat alami yang ditempatinya, kerapatan populasi suatu spesies hewan dapat berubah-ubah sejalan dengan waktu dalam batas-batas tertentu. Batas atas kerapatan ditentukan oleh berbagai faktor, seperti aliran energi atau produktivitas ekosistem, ukuran tubuh, laju metabolism, dan kedudukan tingkatan trofik spesies hewan. Batas bawah kerapatan populasi belum diketahui dengan pasti. Namun, dalam ekosistem yang stabil ada mekanisme homeostatis dalam populasi, yang diduga memegang peranan penting dalam menentukan batas bawah kerapatan.
Kelimpahan populasi suatu spesies mengandung dua aspek yang berbeda, yaitu aspek intensitas dan aspek prevalensi. Intensitas menunjukkan aspek tinggi rendahnya kerapatan populasi dalam area yang dihuni spesies. Prevalensi menunjukkan jumlah dan ukuran area-area yang ditempati spesies dalam konteks daerah yang lebih luas (masalah sebaran).
Suatu spesies hewan yang prevalensinya tinggi (prevalen) dapat lebih sering dijumpai. Spesies yang prevalensinya rendah, yang daerah penyebarannya terbatas (terlokalisasi) hanya ditemui di tempat tertentu.
Spesies hewan dapat dimasukkan dalam salah satu dari empat kategori berikut: prevalensi tinggi (prevalen) dan intensitasnya tinggi prevalensi tinggi (prevalen) tetapi intensitasnya rendah prevalensi rendah (terlokalisasi) tetapi intensitasnya tinggi prevalensi rendah (terlokalisasi) dan intensitasnya rendah. Badak Jawa dan Jalak Bali bersifat endemic dan merupakan spesies langka yang terancam kepunahan. Ktegorisasi status spesies dengan memperhitungkan dua aspek tersebut sangat penting terutama dalam menentukan urutan prioritas perhatian dan untuk melakukan upaya-upaya kelestarian spesies hewan langka yang terancam punah.
Spesies yang terlokalisasi dan intensitasnya rendah dikategorikan sebagai spesies langka. Adakalanya spesies yang intensitasnya tinggi namun prevalensinya rendah pun dimasukkan dalam kategori tersebut. Faktor-faktor yang menjadi penyebab langkanya suatu spesies sangat banyak. Namun, faktor-faktor tersebut mengkin saja tidak sama antara spesies di suatu tempat tertentu dengan spesies di tempat lain. Kelangkaan suatu spesies dapat diakibatkan oleh satu atau beberapa penyebab berikut: Area yang dihuni spesies menjadi sempit atau jarang. Suatu habitat yang kondisi lingkungannya khas biasanya dihuni oleh spesies yang telah teradaptasi secara khusus untuk lingkungan tersebut. Berubahnya kondisi lingkungan dapat mengakibatkan kepunahan lokal dari spesies tersebut. Tempat-tempat yang dapat dihuni spesies hanya cocok huni dalam waktu yang singkat, atau tempat itu letaknya di luar jangkauan daya pemencaran (dispesal) spesies hewan.
Tempat-tempat yang secara potensial dapat dihuni, menjadi tidak dapat ditempati akibat kehadiran spesies lain yang merupakan pesaing, parasit atau predatornya. Dalam area yang dapat dihuni, ketersedian sumber daya penting seperti makanan dan tempat untuk berbiak menjadi berkurang. Variasi genetic spesies relatif sempit sehingga kisaran tempat yang dapat dihuninya pun terbatas. Plastisitas fenotipik individu-individu rendah, sehingga kisaran tempat yang dapat diuninya pun terbatas. Kehadiran populasi-populasi spesies lain yang merupakan pesaing, predator dan parasit menekan tingkat kelimpahan populasi spesies hingga rendah sekali, jauh di bawah tingkat kelimpahan yang sebenarnya masih dimungkinkan oleh ketersedian sumber dayanya (Anonymous. 2011).
3.         Dalam suatu ekosistem terjadi hubungan antar populasi satu dengan yang lainnya atau organisme satu dengan yang lainnya yang disebut simbiosis. Konsep interaksi populasi yaitu hubungan organisme satu dengan yang lain berupa hubungan yang bersifat komensalisme, mutualisme, naturalism, parasitisme, dan parasitoidisme. Suatu organisme (parasit) yang merugikan organisme lain (inang) dalam suatu ekosistem disebut parasitisme. Di dalam hubungan parasitisme, organisme parasit yang merugikan inangnya menjadikan inang sebagai tempat kelangsungan hidupnya. Seperti dalam jurnal yang saya baca, contoh parasitisme dalam ekosistem perairan pada terumbu karang yaitu siput (Thyca crystalline) dan bintang laut biru (Linckia laevigata). Siput berperan sebagai parasit dan bintang laut sebagai inangnya. Hubungan yang bersifat parasitisme antara dua organisme yang berbeda juga terjadi hamper semua filum di alam, termasuk pada moluska.
Parasit serangga berkembang di dalam atau di luar individu serangga inang atau pada telur satu inang. Parasit pada serangga dikarenakan cukup berbeda dari parasit yang sebenarnya untuk memberikan kekhususan bias dikatakan sebagai parasitoid. Parasitoid memiliki ciri khusus antara lain, ukuran parasit hampir sama dengan inangnya, bersifat parasit pada saat bentuk larva. Contoh organisme parasitoidisme yaitu, ulat grayak (Pseudaletia unipuncta) pada tanaman jagung. Tidak pada tanaman jagung sendiri tetapi, di pinggir tanaman jagung yang berdekatan dengan habitat tumbuhan liar.
Menurut literatur :
Suatu ekosistem, khususnya ekosistem perairan, terjadi interaksi antara satu jenis organisme dengan jenis organisme lainnya (simbiosis), baik itu berupa hubungan yang bersifat mutualisme, komensalisme, maupun parasitisme (HALES 2006). Di dalam hubungan parasitisme, organisme parasit memanfaatkan organisme lainnya (inang) sebagai tempat hidup untuk melangsungkan sebagian besar siklus hidupnya. Inang seringkali merupakan tempat tinggal sekaligus sebagai sumber makanan bagi parasit. Hal inilah yang kadang menjadi salah satu faktor fisiologi yang sangat penting yang dapat mempengaruhi pertumbuhan, baik bagi parasit maupun inangnya (ELDER 1979). Dengan kata lain, bahwa parasit memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap kondisi orgamisme lain yang dijadikan sebagai inangnya. Namun demikian, pada dasarnya organisme parasit tidak membunuh inang pada saat parasit tersebut mengambil keuntungan dari inang, bahkan walau parasit tersebut memiliki sifat pathogen (menyebabkan penyakit) (ELDER 1979; BAUMILLER & GAHN 2002).
Hubungan yang bersifat parasitisme antara dua organisme yang berbeda kemungkinan juga terjadi pada hampir semua filum di alam, termasuk pada moluska. Cukup banyak jenis moluska yang bersifat parasit bagi organisme lain, baik bagi organisme yang termasuk filum moluska sendiri maupun organisme dari filum yang lainnya. Ada kalanya hubungan parasitisme yang terjadi tersebut bersifat spesifik, yaitu satu jenis parasit hanya dapat hidup pada inang tertentu saja (BAUMILLER 1990; BAUMILLER & GAHN 2002). Salah satu contohnya adalah yang terjadi pada siput  Thyca crystallina (Eulimidae, Gastropoda) sebagai parasit spesifik pada bintang laut biru  Linckia laevigata (Ophidiasteridae, Asteroidea) (ELDER 1979; JANGOUX 1987; CRANDALL et al. 2008).
Siput parasit Thyca crystallina dapat dengan mudah ditemukan di alam, yaitu menempel pada bintang laut biru Linckia laevigata. Hampir pada seluruh bintang laut biru dapat ditemukan gastropoda parasit ini, bahkan pada satu individu bintang laut kadang terdapat lebih dari dua puluh individu parasit (KOCHZIUS et al. 2009). Thyca crystallina memiliki kemampuan adaptasi yang sangat baik yang dibuktikan dengan pembentukan pola warna pada tubuh moluska tersebut yang menyerupai pola warna bintang laut inangnya. Adaptasi  warna tersebut membuat  Thyca crystallina  tersamar pada permukaan lengan bintang laut biru (ELDER 1979). Hubungan parasitisme spesifik yang sejenis antara lain  Thyca callista yang merupakan parasit pada  Phataria unifascialis (SALAZAR & BONILLA 1998; NEIRA & CANTERA 2005), serta  Thyca nardoafrianti pada Nardoa pauciformis (GUENTHER 2007) (Arbi dan Vimono, 2010).
Sumber : Arbi dan Vimono. 2010. Hubungan parasitisme antara siput Thyca crystalline dan bintang laut biru Linckia laevigata di perairan Ternate, Maluku Utara. UPT Loka konservasi biota laut bitung. Indonesia.
Parasit serangga berkembang di dalam atau di luar individu serangga inang atau pada telur suatu inang. Istilah parasitoid sering digunakan untuk parasit pada serangga dikarenakan cukup berbeda dari parasit yang sebenarnya untuk memberikan kekhususan (Doutt, 1964). Ciri khusus parasitoid antara lain, selama perkembangan suatu individu parasitoid merusak individu inang, inang biasanya pada tingkat taksonomi kelas yang sama, parasitoid pada umumnya ukurannya hampir sama dengan inangnya, bersifat parasit pada saat larva saja; dewasanya hidup bebas, tidak memperlihatkan heterocism (hidup dalam satu spesies inang dan spesies lainnya), dan aksinya menyerupai predator yang lebih dari parasit sesungguhnya dalam dinamika populasi hama (Anonymous. 2012).
4.         Siswa memerlukan pemahaman tentang perilaku hewan, apakah memetakan pemulihan populasi yang terancam punah atau menghindari wabah penyakit seperti flu burung. Pentingnya penangkaran dan reintroduksi berarti siswa harus mengetahui perilaku hewan karena memiliki bagian penting dalam pengelolaan kebun binatang sebagai bagian dari program konservasi. Subyek perilaku hewan, ekologi dan konservasi bergabung untuk menghasilkan materi bidang studi yang bersifat ilmiah.

5.         Contoh pemanfaatan indikator hewan untuk monitoring kondisi lingkungan yaitu makrozobentos yang berperan penting dalam siklus nutrient di dasar perairan. Makrozobentos dapat menunjukkan kualitas suatu lingkungan dan memperlihatkan adanya perubahan faktor-faktor lingkungan dari waktu ke waktu. Penggunaan makrozobentos sebagai indikator kualitas perairan dinyatakan dalam bentuk indeks biologi. Spesies indikator merupakan organisme yang dapat menunjukkan kondisi lingkungan secara akurat yang juga dikenal sebagai bioindikator.
Contoh makrozobentos yang merupakan indikator yang baik untuk kualitas lingkungan air laut yaitu Polychaeta. Polychaeta dapat memberikan respon terhadap polutan. Polychaeta sering dijumpai pada lingkungan yang tercemar karena Polychaeta dikenal sebagai organisme yang sangat toleran terhadap tekanan lingkungan seperti kontaminasi oleh limbah pabrik, polusi sampah dan rendahnya kadar oksigen.

Menurut literatur :
Makrozobentos mempunyai peranan yang sangat penting dalam siklus nutrien di dasar perairan. Hewan bentos hidup relatif menetap, sehingga baik digunakan sebagai petunjuk kualitas lingkungan, karena selalu kontak dengan limbah yang masuk ke habitatnya.  Kelompok hewan tersebut dapat lebih mencerminkan adanya perubahan faktor-faktor lingkungan dari waktu ke waktu. karena hewan bentos terus menerus terdedah oleh air yang kualitasnya berubah-ubah (Oey, et al1., 1978) (Anonymous. 2012).
Gaufin dalam Wilhm (1975) mengelompokkan spesies makrozoobentos berdasarkan kepekaannya terhadap pencemaran karena bahan organik, yaitu kelompok intoleran, fakultatif dan toleran. Organisme intoleran yaitu organisme yang dapat tumbuh dan berkembang dalam kisaran kondisi lingkungan yang sempit dan jarang dijumpai di perairan yang kaya organik. Organisme ini tidak dapat beradaptasi bila kondisi perairan mengalami penurunan kualitas. Organisme fakultatif yaitu organisme yang dapat bertahan hidup pada kisaran kondisi ling-kungan yang lebih besar bila dibandingkan dengan organisme intoleran. Walaupun organisme ini dapat bertahan hidup di perairan yang banyak bahan organik, namun tidak dapat mentolerir tekanan lingkungan. Organisme toleran yaitu organisme yang dapat tumbuh dan berkembang dalam kisaran kondisi lingkungan yang luas, yaitu organisme yang sering dijumpai di perairan yang berkualitas jelek. Pada umumnya organisme tersebut tidak peka terhadap berbagai tekanan lingkungan dan kelimpahannya dapat bertambah di perairan yang tercemar oleh bahan organik. Jumlah organisme intoleran, fakultatif dan toleran dapat menunjukkan derajat pencemaran.
Spesies indikator merupakan organisme yang dapat menunjukkan kondisi lingkungan secara akurat, yang juga dikenal dengan bioindikator Tesky (2002).  EPA (2002) menyatakan bahwa sebagaimana di sistem perairan tawar, biota yang hidup di perairan estuaria dan laut dapat menunjukkan kualitas perairan. Makrozoobentos (seperti  polychaeta) merupakan indikator yang baik untuk kualitas air lingkungan  laut karena respon mereka terhadap polutan dapat dibandingkan terhadap sistem air tawar.  Polychaeta dikenal sebagai organisme yang sangat toleran terhadap tekanan lingkungan (seperti rendahnya kandungan oksigen, kontaminasi organik di sedimen dan polusi sampah) sehingga mereka digunakan sebagai indikator lingkungan yang tertekan (Anonymous. 2010).
Hewan yang hidup di dasar perairan adalah makrozoobentos. Makrozoobentos merupakan salah satu kelompok terpenting dalam ekosistem perairan sehubungan dengan peranannya sebagai organisme kunci dalam jaring makanan. Selain itu tingkat keanekaragaman yang terdapat di lingkungan perairan dapat digunakan sebagai indikator pencemaran. Hewan bentos seringkali digunakan sebagai petunjuk bagi penilaian kualitas air. Jika ditemukan limpet air tawar, kijing, kerang, cacing pipih siput memiliki operkulum dan siput tidak beroperkulum yang hidup di perairan tersebut maka dapat digolongkan kedalam perairan yang berkualitas sedang (Rakhmanda, 2011).
Sumber : Rakhmanda, Andika. 2011. Estimasi populasi gastropoda di sungai tambak bayan Yogyakarta. Jurnal Ekologi Perairan. Laboratorium Ekologi Perairan Jurusan Perikanan. UGM. Yogyakarta.
6.         Manfaat pengetahuan tentang relung bagi aktivitas konservasi yaitu agar kita dapat mengetahui aktivitas yang dilakukan oleh hewan langka dan kita dapat melakukan konservasi sehingga hewan langka dapat bertahan hidup. Pengetahuan tentang hal yang berkaitan dengan pakan dan perilaku spesies yang berkohabitasi dalam suatu komunitas diperlukan dalam konservasi untuk melestarikan spesies dan populasi berbagai jenis satwa liar.
Contoh hewan langka yaitu Bangau hitam atau Sandanglawe. Hewan ini mempunyai banyak variasi gaya hidup. Bangau hitam ini membuat sarang dari tumpukan ranting pada pohon tinggi. Setiap kali bertelur menghasilkan 3-4 telur yang berwarna biru pudar. Bangau hitam tidak melebarkan kakinya saat terbang dan termasuk hewan karnivora. Bangau tidak memiliki organ suara syrinx sehingga tidak bersuara. Paruh yang diadu dengan pasangannya merupakan cara berkomunikasi menggantikan suara panggilan.

Menurut literatur :
Nilai yang terkandung pada ekologi satwa liar adalah pengetahuan tentang hal yang berkaitan dengan pakan dan perilaku spesies yang berkohabitasi dalam suatu komunitas. Teori relung menyatakan bahwa spesies yang berkohabitasi beradaptasi untuk menghindari atau mengurangi persaingan interspesifik dalam memanfatkan sumber daya yang terbatas (Pianka.1981). Akan tetapi hal tersebut masih sulit dipelajari, misalnya mekanisme pembagian sumberdaya dan bagaimana pengaruh persaingan interspesifik terhadap relung suatu spesies (Walter. 1991). Meskipun sulit, ketertarikan pada teori mendorong banyaknya penelitian tentang bagaimana perbedaan eksploitasi sumberdaya dalam suatu komunitas oleh spesies-spesies berkohabitasi. Spesies-spesies yang berkohabitasi membagi sumberdaya seperti dalam bentuk perbedaan pemanfaatan ruang dalam habitat (Vrcibradic & Rocha. 1996) (Anonymous. 2009).

Spesies ini merupakan satu-satunya bangau yang tidak melebarkan kaki dan sayap pada saat terbang. Mereka termasuk hewan yang mempunyai banyak variasi gaya hidup. Bangau tongtong bisa hidup menyendiri, berpasangan atau kadang berkelompok. Burung yang di daerah Jawa populer dengan nama sandanglawe ini sudah makin sulit ditemui. Mereka termasuk satwa yang dilindungi undang-undang karena mulai terancam punah (Anonymous. 2011).